Kamis, 09 Agustus 2012


Dimana Kearifan Lokal ?

Saya sangat sedih melihat kondisi pegunungan Meratus yang rusak akibat sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh penduduk setempat. Sesungguhnya peladang berpindah itu tidak mempunyai apa-apa selain kearifan tradisional, untuk menyuburkan tanah misalnya, mereka tidak mampu membeli pupuk, dan mengatasinya dengan ladang berpindah.  Mereka juga tidak mempunyai senjata untuk menghalau atau memberantas hama, seperti babi misalnya, mereka pecahkan dengan bertani di lereng-lereng yang cukup terjal, agar binatang itu tidak sampai menghampiri ladang mereka.

Memberhentikan kegiatan mereka dan menggantikannya dengan sistem pertanian menetap saya rasa perlu waktu yang panjang dengan dana yang besar dan kesabaran. Perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan studi yang mendalam dan menjadikan masyarakat lokal sebagai subjek pembangunan misalnya, mencanangkan program penanaman sengon atau jeujing (Paraserianthes falcataria) riapnya mencapai 45 m3 /ha/tahun, sehingga bila pertanam sampai 8 tahun dapat mencapai 360 m3/ha, dengan harga kayu Rp. 100.000,00 per m3 seorang yang menanam sehektar mendapat penghasilan kotor Rp. 36.000.000,00 setelah 8 tahun sama dengan Rp. 4.500.000,00/tahun atau Rp. 375.000,00/bulan. Alternatif lain adalah menanam kemiri yang juga bernilai ekonomis atau pengembangan jati supra  yang sangat mempunyai prospek cerah bila di budidayakan dibandingkan dengan pertanaman sengon, di yakini akan lebih mahal karena tidak semua wilayah  cocok di tanamai sengon.

Kerusakan pegunungan Meratus juga diakibatkan oleh ulah tangan-tangan penebang liar.  Tidak dipungkiri bahwa penebangan liar di kaki pegunungan Meratus semakin merajalela, seolah-olah yang melakukan penebangan liar hanyalah masyarakat, padahal ada perusahaan HPH (Hak Penguasaan Hutan) yang menebang pohon diluar petak-petak yang ditentukan, walaupun benar berada dalam arealnya, maka kegiatan tersebut tergolong juga penebangan liar.  Kegiatan ini sangat sulit membuktikannya berbeda dengan penebang liar yang tidak mempunyai koneksi.  Apabila dugaan bahwa pebangan liar hanya dilakukan oleh masyarakat saya rasa akar permasalahannya karena kurangnya lapangan kerja entah karena tingkat pendidikan yang rendah atau karena memang membutuhkan kerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya sehingga harus berprofesi sebagai penebang liar atau upah dari lapangan kerja yang tersedia di bawah standar sehingga dapat di pastikan mereka akan tetap memilih sebagai penebang liar.

Saya pun semakin khawatir karena akhir-akhir ini pemberitaan tentang tukar guling Meratus marak kembali ini artinya hutan lindung pegunungan meratus  akan berubah fungsi menjadi hutan produksi.  Memang untuk melakukan pembangunan di perlukan sumber daya alam sebagai modal untuk melaksanakan pembangunan tersebut selain sumber daya manusia yang berfungsi sebagai pengelola dari sumber daya alam dan pelaksana pembangunan. Meskipun hutan termasuk sumber daya alam yang dapat di perbaharui, akan tetapi kalau tidak dikelola dengan baik tidak mustahil hutan akan punah.  Hipotesis dari kelompok yang sangat setuju dengan tukar guling ini bahwa HPH dapat bertindak sebagai ”herder” sehingga para penebang liar takut beroperasi disana dan yang lebih menguntungkan ada pendapatan yang tadinya hilang menjadi masuk ke kas negara atau daerah atau dengan kata lain negara mendapat devisa dan daerah mendapat PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tetapi apabila pengelolaannya tidak sesui dengan kaidah manajemen hutan yang lestari dapat dipastikan devisa dan PAD akan sirna dengan kerugian yang akan ditimbulkannya, demikian juga apabila illegal logging tidak terkendali meskipun HPH bekerja sesuai dengan benar. 

Mengingat hutan lindung mempunyai banyak fungsi diantaranya sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, kekeringan, menjaga kesuburan tanah, sebagai alat pencegah pemanasan global melalui fiksasi karbon dan gas rumah kaca, biodiversity dalam bentuk perlindungan dan konservasi sumber daya alam hayati yang beranekaragam, dan dengan keindahan dan kenyamanan lingkungan dapat dikembangkan menjadi tempat rekreasi, jadi saya rasa apalah artinya tukar guling meski dengan itu banyak hal yang bisa dilakukan dalam terealisasikan pembangunan, misalnya pembangunan jalan, sekolah-sekolah, atau memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah penduduk asli, atau bahkan pembangunan rumah ibadah yang di lakukan perusahaan, tetapi bencana alam sering terjadi, misalnya saja musibah banjir yang selalu menghantui, kehilangan harta benda dan sarana prasarana mungkin dapat diperhitungkan dengan eksploitasi hutan tersebut, tetapi satu jiwa manusia hilang, apakah dapat dikompensasikan, apalagi sampai puluhan jiwa terenggut.  Dalam waktu tidak terlalu lama di prediksikan bencana alam yang dahsyat seperti di Jawa Tengah dan Sumatera Barat akan merambah ke wilayah pegunungan meratus, gejala ke arah itu sudah ada dengan meninggalnya dua bocah di Hulu Sungai Tengah akibat tanah longsor

Hutan mutlak harus dilestarikan, mengingat fungsi dan manfaat hutan sangat besar bagi kehidupan kita. Untuk melestarikannnya paling tidak harus menyelamatkan hutan primer yang tersisa (pegunungan Meratus), pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang harus di jalankan dengan konsisten sehingga dapat mengendalikan penebang liar.

Saya kagum melihat keindahan pegunungan meratus dengan berlimpah  kekayaan flora dan fauna yang di ciptakan oleh Allah SWT dan sangat bersyukur telah diberi kesempatan untuk melihat dan merasakan nikmat itu semua. Mudah-mudahan  kelestarian hutan ini dapat segera tercapai. Amin.

Tidak ada komentar: